Good Day Mate!
Sebelum saya pergi beraktivitas, maksud saya berkutat dengan skripsi, membaca koran adalah hal yang menjadi rutinitas di pagi hari. Kompas kemarin memuat tajuk rencana yang menurut saya kurang bijak.
Tajuk rencana Kompas (27 November 2007) berjudul ‘Demokrasi Bukan Alat!’. Berisi tentang reaksi Kompas terhadap pernyataan Jusuf Kalla dalam pidatonya di Rapimnas Golkar yang mengatakan bahwa demokrasi hanya alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat, sehingga demokrasi dapat dinomorduakan di bawah tujuan utama pencapaian kesejahteraan rakyat.
Dilihat dari judul Tajuk rencana saja, Kompas memposisikan diri berseberangan dengan pendapat Jusuf Kalla. Kompas menafsirkan pendapat JK bahwa untuk mencapai tujuan bersama, demokrasi -penghargaan hak-hak rakyat- bisa ditinggalkan (Tajuk Rencana: 6). Disini pendapat saya mulai retak dengan Kompas. Bagaimana mungkin hanya demokrasi yang diartikan sebagai sistem yang menghargai hak-hak rakyat? Apakah negara dengan sistem otoritarianisme atau totalitarianisme tidak menghargai hak-hak rakyat? Yang perlu diluruskan adalah definisi dari hak-hak rakyat itu sendiri. Memangnya hak rakyat hanya sebatas pemilihan presiden atau partai politik? Nop! Hak rakyat yang utama, dan yang mereka inginkan (dengan melihat teori needs) adalah ketika Negara memberikan pemenuhan kebutuhan fisiologis dan keamanan, hingga yang tertinggi aktualisasi diri.
Venezuela, dengan otoritas tertinggi di presiden Hugo Chavez, berhasil meningkatkan pendapatan perkapita rakyatnya hingga 4x lipat, pelayanan kesehatan diberikan gratis untuk semua lapisan SES, serta yang terbaru pembagian rumah permanen gratis (in progress) untuk satu juta rakyat yang masih tinggal di ‘bedeng-bedeng’. Kok bisa ya? Hugo Chavez terkenal akan program ‘Oil For People’-nya. Saat ia mulai berkuasa, seluruh kontrak perminyakan dengan negara asing yang proporsi pembangian keuntungannya dianggap merugikan, ditinjau ulang. Perusahaan asing tersebut diberi perintah untuk menjual minyaknya kepada Venezuela, serta proporsi pembagian keuntungan yang lebih besar adalah untuk negara. Apakah perusahaan asing angkat kaki? Tidak! Chevron dan Shell tetap menjadi mitra Venezuela. Meskipun begitu Amerika Serikat kini mencoba menggoyang isu kediktatoran Hugo Chavez dan keengganannya untuk menerapkan demokrasi di Venezuela.
Venezuela adalah contoh negara yang berhasil memenuhi hak-hak rakyatnya di tingkat kebutuhan yang mendasar. Tetapi negara ini juga saya anggap tidak mampu memenuhi hak rakyatnya di tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, tahun ini pemerintah Venezuela menutup stasiun televisi terbesar di negara itu dengan tidak memperpanjang kontraknya. Hal ini menutup hak rakyat untuk mengaktualisasikan diri dengan menyuarakan pendapatnya.
Lain lagi dengan negara-negara di Afrika. Penerapan demokrasi secara paksa (kebijakan dari negara barat, seperti Inggris, Spanyol, dan AS, yang tadinya menjajah mereka) mengubah tatanan keidupan masyarakat disana secara drastis. Konflik berdarah terjadi di benua hitam ini. Konflik Rwanda (Genosida suku Tutsi oleh suku Hutu), Somalia (Milisi dari Ethopia lawan pemerintah), Zaire (Pemerintahan demokrasi boneka bentukan Inggris, lihat film Last King of Scotland), Ethopia, Libya, dan hampir seluruh negara Afrika kecuali Afrika Selatan. Kenapa bisa begitu? Samuel P. Huntington, peraih nobel sekaligus pencetus teori politik modern dengan tulisannya ‘Clash of Civilization’ mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang gagal di negara dunia ketiga. Hal ini terutama dikarenakan demokrasi adalah sistem idealis yang bertujuan memberikan kesempatan aktualisasi diri bagi rakyatnya, tetapi tidak memberikan solusi nyata untuk memberikan hak-hak dasar seperti kebutuhan fisiologi dan keamanan. Rakyat Afrika tidak mendapatkan kebutuhan dasar yang menjadi landasan terciptanya iklim demokrasi yang dapat memberikan kesejahteraan. Satu dari tiga orang di Afrika menderita HIV/AIDS, 80% warganya memiliki pendapatan kurang dari 1 US dolar perhari, dan tingkat harapan hidup individu hanya 30 tahun.
Be logic! Buat apa mereka pikirkan punya hak pilih kalau tahu hidup tidak lebih dari 30 tahun? Buat apa punya hak pilih kalau tahu mengidap HIV/AIDS dan tidak memiliki akses kesehatan, melainkan hanya menunggu malaikat pencabut nyawa? Democracy isn’t what they need then!
Di Indonesia demokrasi seperti naik mobil di jalan Pegangsaan saat saya pulang dari Kelapa Gading ke rumah, kadang mulus, kadang bolong, kadang lancar, kadang macetnya minta ampun.
Perlu diakui, demokrasi di Indonesia membawa angin segar bagi politik modern dengan tonggaknya yaitu partai politik. Dimana-mana orang membuat partai politik untuk menyalurkan aspirasinya. Niatnya baik, tetapi sekarang kebablasan. Keinginan untuk membatasi partai dengan diadakannya electoral threshold yang bertarung di Pemilu diprotes oleh partai-partai gurem. Lho? Wong Ujian Nasional SMA saja ada batasnya, kenapa Pemilu tidak? Malu dong sama siswa SMA! Demokrasi di Indonesia juga membawa kebahagiaan bagi kalangan media. Tidak ada lagi yang namanya ‘cekal-cekalan’. Berita apapun dapat disiarkan, ditulis, dan diperdengarkan. Tapi lagi-lagi banyak yang bilang kebablasan juga. Bagaimana mungkin ada usulan untuk membubarkan Lembaga Sensor Film (LSF)? Bagaimana mungkin ada media pornografi yang mudah dibeli oleh anak-anak di perempatan lampu merah?
Sejarah mencatat, pemimpin demokrasi seperti George Washington dengan US Amandement-nya di Amerika Serikat atau Kaisar Hirohito dengan pembukaan pelabuhan di Jepang berhasil membawa bangsanya bangkt dari keterpurukan. Tetapi sejarah juga mencatat, pemimpin otoriter seperti generasi Mao Zhedong, Deng Xiaopin, hingga Hu Jintao di Cina berhasil membawa negerinya terbebas dari kenistaan pasca perang candu, atau Margaret Thatcher yang melepaskan negerinya dari ancaman resesi dunia di awal tahun 1990.
Jadi sistem apa yang sebenarnya kita butuhkan? Demokrasi? Otoritarianisme? Atau totalitarianisme?
Bukan itu semua, bukan sistem itu. Yang kita butuhkan, paling tidak bagi saya seorang, adalah pemimpin baik yang ujung-ujungnya menghasilkan pemerintahan yang baik. Pemimpin baik adalah pemimpin yang memiliki tujuan utama mensejahterakan rakyatnya dengan tulus.
Idealis memang! Tapi mau apa lagi? Saya sulit berharap pada pemerintahan yang tidak mau meninjau ulang kontrak Freeport di Irian, yang hanya memeberikan Indonesia porsi kurang dari 8% laba bersih pengerukan timah, intan, dan lainnya. Sebagai catatan, laba bersih Freeport tahun 2006 adalah 50 triliyun! Itu hasil bumi Indonesia! Itu hasil menggali di Papua! Berkat laba sebesar itu, Freeport ‘berhasil’ menjadi perusahaan tambang dengan omset terbesar di dunia (baca SWA edisi ‘Perusahaan Indonesia jadi Raja di Dunia’, November akhir 2007).
Masalahnya, pemimpin yang baik itu tidak diketahui kapan munculnya, serta bagaimana ia hadir. Ramalan Joyoboyo dari zaman Majapahit mengatakan ratu (raja?) adil akan datang di negeri yang kacau balau seperti sekarang. Benarkah?
Sebagus apapun mobil seseorang, jika yang menyetir bodoh, maka...
No comments:
Post a Comment