Alkisah nyata dalam sebuah forum pecinta musik, seorang (dan banyak seorang-seorang lainnya) sedang mendiskusikan mengenai fenomena terngiangnya lagu The Rock di telinga mereka belakangan ini. Simak lirik di bawah ini, dan saya juga yakin Anda akan membacanya diiringi dengan nada lagu tersebut yang judulnya saja saya tidak tahu.
Tuhan kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hat.
Yang mencintai aku
Apa adanya..
The Rock beranggotakan empat personel, yaitu Ahmad Dhani dan tiga manusa Kaukasian yang tidak diketahui namanya (entah karena mereka humble atau mungkin status asli mereka additional players?). Pun dalam video klip mereka, Ahmad Dhani sebagai vokalis tampak mendominasi dengan jaket Adidas Muhammad Ali-nya.
Kembali pada pembicaraan dalam forum pecinta musik mengenai band ini. Sangat banyak sekali komentar bernada negatif yang sekedar mengkritik reff lagunya (yang dianggap mirip dengan The Beatles) hingga cacian yang tidak relevan dengan lagu. Opini-opini yang paling saya ingat yaitu mengenai tiga orang bule yang menjadi personel terpinggirkan dalam The Rock. ‘Mau-maunya ya orang bule disuruh-suruh Dhani?’ atau ‘Bule gelandangan kali tuh, dipungut Dhani!’.
Owkeh! Disini saya merasa sangat tersentak! Untuk permasalahan plagiat lagu, yah.. mau bilang apa? Tangga nada hanya tujuh, setiap tahun ada ratusan ribu lagu yang dibuat di seluruh dunia, kalau sama-sama sedikit, tidak apa-apalah asal tidak keterlaluan. Tetapi saat ‘keberhasilan’ Dhani menaklukan bule dipermasalahkan, saya disadarkan beginilah persepsi kita terhadap bule. Ternyata masyarakat kita masih banyak yang percaya kalau kita (Indonesian – Red) lebih inferior dibandingkan dengan bule.
Tidak ada yang salah ketika seorang Indische memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan Kaukasian, Mongolian, atau Afikanns. Apakah Anda menggugat logika ini?
Dalam percakapan dengan seorang teman, ia menilai orang Indonesia mengalami Jonah Complex. Dalam bahasa sederhananya, fear of greatness. Kita takut untuk menjadi hebat! Edan dan heran, jadi CEO atau komisaris kok tidak suka? Pengamat mengatakan ini bermula dari pola pendidikan di jaman Belanda yang menempatkan masyarakat Indonesia ada di strata sosial terbawah. Ya, penerawangan lewat sejarah memang penting, tetapi lebih penting lagi bagaimana mayarakat tidak terus-terusan inferior.
Saya tidak dapat mengatakan cara terbaik untuk mengatasi ketakutan dan keterkungkungan kita dalam sangkar tak berjeruji, karena keterbatasan saya dalam memberikan solusi. Paling tidak saya selalu mengingatkan pada diri saya sendiri, bahwa saya telah diberikan rahmat untuk tinggal di negeri yang memiliki potensi yang sangat-sangat-begitu-luar biasa-dahsyat-maha-besar, sehingga sudah selayaknya saya optimis karena kita adalah orang yang dititipi oleh-Nya bangsa yang hebat. Saya yakin segala tindakan Tuhan adalah benar, sehingga saya juga harus yakin kita adalah orang yang dapat mengelola bangsa ini dengan baik.
Tidak percaya kita bangsa besar?
Dahulu kala di negeri gemah ripah loh jinawi ini bertahta dua kerajaan besar yang wilayahnya meliputi hingga Siam, pernahkah kita diingatkan untuk bangga akan sejarah itu? Kita juga pernah dikenal sebagai macan Asia, ingatkah Anda akan julukan itu pada bangsa kita? Kita pernah swasembada beras (thou only last for 2 or 3 years), hingga dengan rela memberikan secara gratis ke saudara-saudara kita di Afrika yang kelaparan. Kita adalah negara yang mengajari Malaysia menjadi pintar dengan mengirim guru-guru kita kesana pada tahun 70-an. Indonesia dasawarsa 50-an adalah negara yang dihormati dengan menggagas pertemuan Asia-Afrika yang merupakan cikal bakal Gerakan Non-Blok. Hebatnya lagi, meskipun menurut Bank Dunia 46% penduduk Indonesia terhitung miskin, pernahkah kita dengar adanya penduduk yang mati kelaparan? Tidak, karena Tuhan sudah begitu baiknya untuk meniupkan roh kita pada ragawi yang lahir di tanah yang sangat subur.
Minggu ini, seorang teman saya pergi ke Malaysia untuk mempresentasikan hasil penelitiannya yang notabene mendapatkan penghargaan sebagai skripsi terbaik. Luar biasa! Saya tidak tahu apa yang teman saya rasakan dalam hati, tetapi kebanggaan itu sudah seharusnya ia miliki, mengingat kesempatan yang ia miliki untuk ‘mempopulerkan’ pemikirannya. Wong sebagai temannya saja saya bisa merasa bangga.
Bangga terhadap diri sendiri, saya sikap ini dapat menjadi anak tangga pertama dalam perjalanan menuju Indonesia sejahtera. Meskipun Indonesia saat ini sedang sakit, saya rasa tahap kritisnya sudah lewat. Hal-hal buruk mulai dikikis perlahan-lahan. Jagoan saja biasanya kan kalahan dulu, setelah itu, eng ing eng!! Ciaatt!! Percayalah, Indonesia akan besar, dan rakyatnya tidak boleh takut untuk menjadi besar.